Secara umum, terdapat hingga 7.000 jenis penyakit yang dapat diklasifikasikan sebagai penyakit langka.1
Di Asia Tenggara, lebih dari 45 juta orang atau sekitar 9% dari populasinya menderita penyakit langka.3
Penyakit langka biasanya bersifat kronis, progresif, dan mengancam kehidupan penderita.1
Jakarta, 27 Februari 2019 – Dalam rangka memperingati Hari Penyakit Langka Sedunia 2019, Sanofi Indonesia bermitra dengan Yayasan MPS & Penyakit Langka Indonesia mengadakan sharing session. Tema tahun ini adalah #LiveWithRare yang membahas mengenai tantangan dan harapan para pasien penyakit langka atau rare disease.
Hari Penyakit Langka ini membuka kesempatan untuk menginformasikan dampak penyakit langka yang seringkali membebani pasien dan memengaruhi keluarga. Mengingat kelangkaan penyakit tersebut, kondisi ini membuat sulit untuk didiagnosis dan diobati.
Di Eropa, suatu penyakit dikatakan langka jika penyakit tersebut dialami kurang dari 2.000 orang di suatu negarai yang di antaranya disebabkan kelainan metabolik bawaan. Secara umum, terdapat sekitar 7.000 jenis penyakit langka yang telah teridentifikasi dan memengaruhi lebih dari 350 juta orang di dunia, di mana penyakit ini menyumbang angka kematian sebesar 35% pada tahun pertamaii.
“Pasien dapat bertahan dalam perjalanan yang panjang yang melibatkan banyak dokter spesialis, menjalani berbagai tes, mendapatkan diagnosis yang tidak tepat, serta sulitnya akses obat-obatan dan harga pengobatan yang sangat tinggi. Sementara itu, menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pasal 28H dan pasal 34, pasien penyakit langka yang umumnya anak-anak ini mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan pelayanan kesehatan,” tutur Ibu Peni Utami, Ketua Yayasan MPS & Penyakit Langka Indonesia yang juga turut hadir dalam acara tersebut.
Pada sharing session kali ini, empat orangtua yang merupakan perwakilan dari keluarga pasien dengan 4 jenis penyakit langka yang berbeda turut hadir dalam dalam menyampaikan pengalaman serta tantangan yang mereka hadapi dalam menjalani perawatan sehingga menjadi beban yang memengaruhi keluarga, dan menyampaikan harapan keluarga mereka terhadap pasien.
“Saya memerlukan waktu satu tahun lebih untuk mendapatkan diagnosis yang tepat untuk penyakit langka anak saya,” tutur Ibu Fitri Yenti, orangtua dari Umar Abdul Azis, pasien MPS II. Sulitnya mendapatkan diagnosis yang tepat adalah salah satu hambatan terbesar bagi para pasien. Alhasil, para pasien harus menjalankan uji medis yang panjang. Salah satu penyebab diagnosis tidak tepat adalah pengetahuan mendalam mengenai penyakit langka yang belum merata di kalangan tenaga dokter ahli. Orangtua Umar awalnya tidak mengetahui penyebab terganggunya pertumbuhan Umar. Hingga kemudian ada seorang dokter yang merujuk Umar ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta.
Umar pertama kali didiagnosis ketika berusia 3 tahun 7 bulan, di mana ia mengalami kemunduran dalam pertumbuhan dan perkembangannya. Saat ini, Umar berumur tujuh tahun, dan harus melakukan perawatan terapi seminggu sekali di RSCM.
Orangtua dari pasien lainnya, adalah Bapak Agus Sulistiyono, ayah dari Pinandito Abid Rospati, pasien Pompe Disease. “Saya mendapati penyakit Pompe yang dialami Dito sekitar akhir tahun 2018 ketika di RSCM dan Dito masih berumur 3 tahun. Hati saya sangat hancur dan putus asa mengetahui biaya pengobatan dan perawatan yang harus Dito jalani seumur hidupnya.” Akibat penyakit yang dideritanya, Dito harus mengandalkan alat ventilator untuk membantunya bernapas, dan obat untuk Dito merupakan salah satu jenis orphan drug, yang sulit didapat. “Sekalipun ada, obatnya harus dipesan dari luar negeri dengan harga yang sangat mahal – kalau kami harus berjuang sendiri uang hasil jerih payah sendiri, saya tidak akan bisa mencukupinya,” papar Bapak Agus. Beban psikologis juga termasuk tantangan yang dirasakan. Orangtua anak penyandang penyakit langka terkadang merasa tidak bisa melakukan apa pun untuk meringankan rasa sakit sang anak. Proses pencarian dokter dan perawatan yang tepat pun melelahkan mental, Pak Agus menambahkan.
Terkadang ada kasus di mana perawatan yang tepat sudah tersedia, namun akses perawatan untuk sang pasien merupakan sebuah tantangan tersendiri. Ibu Amin, orangtua dari Athiyatul Maula, pasien penyakit Gaucher Disease yang berasal dari Jambi. Tak hanya Athiya, ternyata kakaknya, Sukron, juga menderita kelainan yang sama dan telah meninggal di usia 2 tahun 5 bulan. “Saat itu, kami terlambat mendapati diagnosis penyakit langka ini karena adanya keterbatasan akses tenaga kesehatan untuk bisa mendiagnosis dengan tepat. Tapi, setelah melihat gejala penyakit yang serupa dengan Athiya, kami langsung segera membawa Athiya ke dokter. Mulanya di Jambi, lalu kami pergi ke Padang, sampai akhirnya kami membawa hasil CT scan diagnosis dokter di sana ke RSCM, di mana kami akhirnya bertemu dengan Dr. dr. Damayanti Rusli Sjarif, SpA (K).”
Tidak hanya perjalanan panjang untuk mendapatkan diagnosis tepat dari dokter ahli dan biaya yang mahal, namun apabila tidak ada terapi dan perawatan intensif berkelanjutan kepada para pasien penderita penyakit langka, maka pertumbuhan dan progress kesembuhannya terancam tidak stabil. Belum lagi beban sosial yang harus dialami orangtua dan anak yang merasa dikucilkan oleh masyarakat karena ada stigma yang memengaruhi penyakit langka, sehingga anak lain merasa ragu untuk bermain atau berteman dengan anak yang memiliki penyakit langka.
“Setiap anak adalah generasi pemimpin masa depan dan harapan bangsa, oleh karena itu diharapkan pemerintah dapat mendukung anak-anak dengan penyakit langka dalam menghadapi tantangan untuk memastikan akses yang sama ke layanan kesehatan dan kehidupan berkualitas. Saya harap agar makin banyak masyarakat dan pemangku kepentingan terkait mempunyai kesadaran tentang keberadaan penyakit langka, dan keterlambatan pengobatan tidak terjadi pada anak-anak penyakit langka. Semakin dini anak-anak berpenyakit langka ditangani dengan treatment yang tepat, maka kualitas hidup mereka pun akan baik,” tutur Ibu Peni, menyampaikan harapannya di Hari Penyakit Langka sedunia.
Untuk informasi lebih lanjut mengenai penyakit langka: www.penyakitlangkaindonesia.org
Tentang Sanofi Indonesia
Sanofi didedikasikan untuk membantu manusia dalam menghadapi permasalahan kesehatan. Kami adalah perusahaan biofarmasi global yang fokus pada kesehatan manusia. Kami mencegah penyakit dengan vaksin serta menyediakan perawatan inovatif untuk mengatasi rasa sakit dan meringankan penderitaan. Kami berdiri bersama orang-orang yang mengidap penyakit langka dan jutaan lainnya yang menderita kondisi kronis jangka panjang.
Bersama lebih dari 100 ribu karyawan di 100 negara, Sanofi mengubah inovasi ilmiah menjadi solusi perawatan kesehatan di seluruh dunia.
Sanofi, Empowering Life
Tentang Yayasan MPS & Penyakit Langka
Yayasan Muchopolysacchariodosis & Penyakit Langka Indonesia merupakan organisasi non-profit yang didirikan sejak tahun 2016. Yayasan Muchopolysacchariodosis & Penyakit Langka Indonesia memberikan dukungan kepada pasien penyakit langka dan merupakan jembatan antara pasien dengan penyakit langka dan tenaga kesehatan yang tepat.
Total anggota dari Yayasan MPS & Penyakit Langka Indonesia adalah ± 50 pasien, termasuk di dalamnya pasien dengan penyakit MPS I, MPS II, MPS IIIB, MPS IVA, PKU, Fabry, MSUD, dan penurunan PTPS.
Yayasan MPS & Penyakit Langka Indonesia memiliki visi dan misi untuk mendukung keluarga para pasien dengan penyakit langka serta meningkatkan kesadaran dan pemahaman tentang penyakit langka, baik bagi tenaga kesehatan maupun masyarakat secara umum.
Kontak Anda
Sharon Loreta Olich
Country Communications and CSR Head Sanofi Indonesia
Telepon: +62 811 1320 2060
Email: Sharon.Olich@sanofi.com
Fahrul Amin Iskandar
Yayasan MPS & Penyakit Langka Indonesia
Telepon: +62 877 8833 3325
Email: fahrul_hc@yahoo.com
コメント